PELAKU KORUPSI : Patutkah DIberikan belas kasih ?

06.31

Hukuman bagi para koruptor menurut perspektif syari’at islam

Oleh : Tajun Nashr Ms.

A
khir-akhir ini pembahasan-pembahasan di media baik cetak maupun elektronik sedang diramaikan dengan berita-berita heboh namun memilukan dan menyedihkan. Di mana kita melihat nama-nama besar yang juga memiliki posisi penting di publik  -meskipun masih dalam tahap penyidikan- ternyata dikabarkan terlibat kasus penggelapan uang Negara, penyuapan dan kasus-kasus berbau khianat lainnya.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa para koruptor itu –siapapun orangnya- tentunya memiliki andil dan saham besar dalam menciptakan keterpurukan negeri ini. Akibat ulah mereka, banyak bangunan roboh, kecelakaan lalu lintas, harga-harga melambung tinggi, biaya pendidikan selangit, bahkan banyak rakyat yang akhirnya menjadi kelaparan. Dari rentetan akibat buruk di atas, maka apa sebenarnya hukuman yang layak bagi mereka yang benar-benar terbukti melakukan praktek korupsi dan penggelapan uang Negara ini?

Apakah korupsi sama dengan mencuri ?
Kalau dilihat dari jiwa kejahatannya, maka orang yang korupsi itu meskipun berpagkat tinggi sebenarnya derajat mereka sama dengan para maling kelas teri, semacam maling ayam, maling jemuran atau bahkan maling sandal. Namun, jika dilihat dari kacamata hukum islam apakah tindak pidana korupsi ini sama persis dengan pencurian ataukah tidak?


Para ahli fiqih mendefinisikan pencurian sebagai berikut : “Mengambil hak orang lain yang berada dalam tempat penyimpanan pemiliknya (atau yang semakna), dengan syarat dilakukan oleh orang yang baligh dan berakal secara sembunyi-sembunyi, barang curian mencapai nishab, dan tidak ada syubhat dalam kepemilikan barang curian.”[1]
Adapun definisi dari korupsi adalah : “Penguasaan terhadap harta milik umum yang dilakukan oleh orang yang diberikan wewenang jabatan tertentu dalam sebuah institusi tertentu.”[2]
Dari definisi tersebut terdapat poin perbedaan antara kejahatan pencurian biasa dengan kejahatan korupsi. Yaitu, pencurian dilakukan terhadap harta yang tidak berada dalam genggaman pelaku pencurian. Sedangkan korupsi dilakukan terhadap harta yang sedang berada dalam pengawasan pelaku, sebab dia diberikan wewanang untuk menjaga harta tersebut.
Ini artinya tindakan korupsi tentu berbeda dengan tindakan pencurian. Konsekuensinya, hukuman yang diberikan kepada para koruptor pun tentunya akan berbeda dengan hukuman bagi pencuri.

Apa hukuman yang pas dan layak bagi para koruptor ?

Ada sebuah hadits yang menjelaskan secara eksplisit tentang hal tersebut, yaitu hadits Dari Jabir t bahwa Rasulullah e bersabda :
ليْسَ عَلَى خَائِنٍ وَلاَ مُنْتَهِبٍ وَلاَ مُخْتَلِسٍ قَطْعٌ
“Tidak ada hukuman potong tangan bagi orang yang korupsi, pencopet ataupun perampok.”[3]
Dari hadits tersebut maka para Fuqaha bersepakat bahwa hukuman untuk koruptor bukanlah potong tangan. Bahkan Ibnul Humam berkata, “Terdapat riwayat ijma’ para ulama’ tentang tidak adanya hukum potong tangan bagi orang yang korupsi,.”[4]

Alasan (illat) yang mereka kemukakan adalah karena korupsi tidak seperti mencuri, sebab terdapat perbedaan dari sisi tempat penyimpanan harta. Harta yang dikorupsi bisa jadi sebenarnya sudah berada di tangan pelaku tersebut sebab pemilik harta telah menitipkan harta tersebut kepadanya dan mengizinkannya untuk mengaksesnya. Berbeda dengan harta hasil curian yang masih berada di tempat penyimpanan pemilik harta.[5]

Lantas apa hukuman yang layak bagi mereka?

Di dalam syari’at islam, jika dilihat dari konsekuensi hukumnya, maka sanksi hukum bagi kejahatan yang sifatnya pidana (Jinayat) bisa digolongkan menjadi empat macam, yaitu : Hudud, Qishâs, Diyât serta Ta’zîr.

Hudûd, Qishâs dan Diyât merupakan bentuk hukuman yang kadarnya sudah ditentukan secara baku oleh Allah, sehingga tidak bisa ditambah atau dikurangi. Namun perbedaannya adalah bahwa Hudûd merupakan hak Allah, yang artinya tidak bisa dibatalkan hukumannya. Sedangkan Qishâs dan Diyât merupakan hak korban, yang bisa dibatalkan berdasarkan kesepakatan korban atau walinya.
Contoh kejahatan yang terkena sanksi Hudud antara lain : zina, mencuri dan minum khamr. Sedangkan yang terkena sanksi Qishâs seperti : Membunuh atau melakukan penganiayaan fisik secara sengaja.

Sedangkan Ta’zîr secara bahasa berarti pemberian pelajaran, yaitu hukuman yang kadarnya tidak ditentukan secara baku dalam syariat. Sehingga kadarnya bisa ditentukan mulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman paling berat tergantung dari kebijakan hakim, setelah mempertimbangkan berbagai sisi.[6]
Contoh perbuatan yang mendapatkan sanksi ta’zir ini antara lain : riba dan suap.

Dari keempat jenis hukuman di atas, para ahli fiqih menggolongkan hukuman korupsi ke dalam jenis hukuman ta’zîr, sebab tidak ada ketentuan secara baku dari syari’at mengenai kadar hukuman dari tindak pidana tersebut.

Contoh bentuk hukuman ta’zir antara lain : Hukuman peringatan secara lisan maupun tertulis, pukulan, penjara, salib, denda, pengasingan bahkan bisa juga diterapkan hukuman mati pada kejahatan-kejahatan tertentu yang dianggap bisa membahayakan.[7]

Dengan demikian, seorang hakim diberikan wewenang untuk menentukan hukuman apa yang layak bagi sang koruptor, mulai dari hukuman yang teringan sampai hukuman paling berat seperti yang disebutkan di atas. Tentunya setelah mempertimbangkan dari berbagai sisi, seperti dari sisi besarnya harta yang dikorup, akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya dan lain-lain.
Dalam negara kita, sebenarnya sudah ada undang-undang yang mengatur tentang hukuman bagi para koruptor. Contohnya sebagaimaa yang termaktub dalam Undang-Undang no. 31 tahun 1999 Pasal 2

Tentang pemberantasan tindak pidana korupsi berikut ini :

Ayat (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Ayat (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.[8]

Dari sanksi yang termaktub dalam undang-undang tersebut bisa kita lihat bahwa ada kesesuaian antaranya dan ketentuan yang ada dalam syari’at islam, yaitu hukuman ta’zir. Di mana di sana disebutkan hukuman penjara (penahanan), denda, bahkan di ayat kedua disebutkan tentang hukum pidana mati yang dapat dijatuhkan dalam keadaan tertentu. Itu artinya, meskipun belum secara 100 % menetapkan syari’at islam, harus kita akui bahwa ada beberapa peraturan di Negara kita yang esensinya sudah cukup sesuai dengan ketentuan syari’at islam.

Contoh lagi dalam masalah hukum-hukum perdata, telah ada usaha untuk menerapkan hukum-hukum islam yang telah ditransformasikan ke dalam undang-undang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Meskipun, jika kita mau menengok ternyata pasal-pasal yang ada di sana, masih banyak yang bermasalah dan bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah islam.

Permasalahan lainnya adalah dalam masalah pelaksanaan undang-undang yang sudah ditetapkan tersebut. Sebab, sering terjadi di lapangan, para aparat yang sebenarnya bertugas untuk memberantas korupsi justru terlibat sendiri dalam lingkaran kejahatan ini.

Dengan demikian, sebenarnya tugas dan pekerjaan rumah yang berat memang sedang diemban oleh para penegak hukum di negeri kita tercinta ini., apalagi ketika yang dihadapi adalah perkara-perkara pidana. Dibutuhkan orang-orang yang professional dan memiliki integritas yang tinggi. Yang tidak mudah digoyangkan oleh godaan-godaan duniawi yang semu. Sebab dia yakin, bahwa memperjuangkan keadilan adalah salah satu tujuan diturunkannya syari’at islam ini. Maka, harapan besar sebenarnya ada pada orang-orang yang memiliki komitmen dan keimanan yang kuat, namun juga memiliki bekal keilmuan yang luas, terutama ilmu syari’ah maupun ilmu tentang undang-undang konvensional.
Tinggal pertanyaannya adalah apakah peran yang bisa kita mainkan ? apakah kita hanya duduk berpangku tangan saja melihat fenomena-fenomena itu ataukah masuk ke dalam medan perjuangan yang penuh godaan tersebut ?

Tinggal kita melihat kapasitas masing-masing, ingin di mana kita terjun.

-Wallahu a’lam bisshawâb-
Jatipadang, 9 November 2013
Pukul 01:51 WIB




[1] Mausû’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah : 24/292
[2] Korupsi : Rukun dan hukumannya - Hakim Kepala Mahkamah Nurul Islam Mesir.
[3] H.R. At-Tirmidzi, An-Nasâ’i, Abu Dawub, Ibnu Majah, Ahmad dan Ibnu Hibban. Imam At-Tirmidzi berkata : Hasan Shahih.
[4] Fathul Qâdir : 4/233
[5] Al-Mughni : 8/240, Fathul Qadîr : 4/233
[6] At-Tasyri’ Al-Jinâ’iy Al-Islâmiy : 80-81
[7] At-Tasyri’ Al-jina’iy Al-Islâmiy : 145-147
[8] Undang-Undang RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi

You Might Also Like

0 komentar

Ingat Waktu

Flickr Images

Flag Counter